Minggu, 07 Desember 2008

Redaksi

Redaksi "Tim Putih"



Athya Kamila (Tya)
Institusi Sekolah Dasar



Lydia Wangsa (Ailie)
Institusi Sekolah Menengah Pertama



Cindy Wuwungan (Ndy)
Institusi Sekolah Menengah Atas



Rachmat Agung (Rachmat)
Institusi Universitas

Universitas - Testimonial


Belajar merupakan hak setiap orang, akan tetapi kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu hak istimewa karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tinggi tersebut. Dengan kondisi tersebut, harapan adalah bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan. Tujuan lembaga tinggi pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat bahwa belajar merupakan kegiatan individual tertentu.

Suatu fakta angan-angan individual terhadap rencana karir ke depan merupakan motivasi belajar seseorang di perguruan tinggi dan merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan ini akhirnya menentukan sikap, perilaku dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang merupakan suatu prospek penting dalam rencana karir seseorang dewasa ini. Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar (knowledge and learning experience) yang kedua adalah tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa).

Proses belajar mengajar mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional. Dua hal di atas kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa. Tujuan pendidkan di antaranya adalah untuk menciptakan peserta didik yang berilmu, cakap dan kreatif. Untuk mewujudkan ketiga aspek ini salah satunya adalah dengan memberikan metode pembelajaran yang tepat. Adapun salah satu pendekatan dirasa tepat untuk mewujudkan ketiga hal tersebut adalah dengan pendekatan Student Centered Learning (SCL). Dengan prinsip dasar keaktifan dan kekreatifitasan dalam proses belajar mengajar, serta tidak lagi menjadikan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu; ini akan membuat mahasiswa semakin percaya diri untuk menjadi lebih aktif, kreatif dan berilmu.

Tetapi pada kenyataannya, pengajaran dalam mengajarkan mata pelajaran belum semua dosen sepenuhnya melaksanakan metode pembelajaran yang menuntut keaktifan mahasiswa. Dosen lebih cenderung menerapkan metode konvensional, di mana dosen adalah satu-satunya sumber ilmu atau disebut juga Teacher Centered Learning (TCL). Dalam metode ini dosen lebih kepada ceramah, mendikte, textbook, dan kemudian memberikan soal ujian.

Dalam pendekatan Student Centered Learning (SCL) mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dengan konsep ini, pengetahuan merupakan barang bebas, walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.

Permasalahannya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki perguruan tinggi? Hal ini yang acap kali sulit diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi. Gejala yang sering dirasakan di Indonesia adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial orang lain (misalnya orang tua), akibatnya, belajar dianggap sebagai suatu beban dan penderitaan. Benar bahwa pendekatan Student Centered Learning (SCL) paling tepat untuk mewujudkan peserta didik yang berilmu, cakap dan kreatif. Tetapi, bisa dikatakan perilaku belajar mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama, bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah dari dosen merupakan jimat yang ampuh.

Kebanyakan mahasiswa mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat. Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain. Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kadang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredifinisi dan dilaksanakan secara konsekuen oleh individu itu tersebut.

Ini adalah fakta budaya belajar di Indonesia. Sulit untuk mendeteksi mengapa ini sampai terjadi dan terus dilestarikan. Kemungkinan yang sangat logis adalah kurangnya kesiapan lembaga pendidikan, dosen dan mahasiswa untuk terus memberdayakan diri melalui bacaan, kuliah konvensional, sehingga terlihat tidak ada upaya dan usaha dalam self improvement. Ini merupakan tantangan untuk praktisi pendekatan Student Centered Learning (SCL). Karena perlu proses untuk perpindahan dari pendekatan Teacher Centered Learning (TCL) ke pendekatan Student Centered Learning (SCL).



Universitas - Perencanaan & Instruksi Teacher Centered

Perencanaan pelajaran Teacher-Centered

Tiga alat umum sekolah yang berguna dalam perencanaan teacher-centered adalah menciptakan sasaran behavioral (perilaku), menganalisis tugas, dan menyusun taksonomi (klasifikasi) instruksional.

Menciptakan sasaran behavioral

Sasaran behavioral adalah pernyataan tentang perubahan yang diharapkan oleh guru akan terjadi dalam kinerja murid. Menurut Robert Mager (1962), sasaran behavioral harus spesifik. Mager percaya bahwa sasaran behavioral harus mengandung tiga bagian:

  • Perilaku murid. Fokus pada apa yang akan dipelajari atau dilakukan murid.
  • Kondisi di mana perilaku terjadi. Menyatakan bagaimana perilaku akan dievaluasi atau dites.
  • Kriteria kinerja. Menentukan level kinerja yang dapat diterima.

Menganalisis tugas

Alat lain dalam perencanaan teacher-centered adalah analisis tugas, yang difokuskan pada pemecahan suatu tugas kompleks yang dipelajari murid menjadi komponen-komponen (Alberto & Troutman, 1999). Analisis ini dapat melalui tiga langkah dasar (Moyer & Dardig, 1978):

  1. Menentukan keahlian atau konsep yang diperlukan murid untuk mempelajari tugas.
  2. Mendaftar materi yang dibutuhkan untuk melakukan tugas, seperti kertas, pensil, kalkulator, dan sebagainya.
  3. Mendaftar semua komponen tugas yang harus dilakukan.

Menyusun taksonomi instruksional

Taksonomi instruksional juga membantu pendekatan teacher-centered. Taksonomi adalah sistem klasifikasi. Taksonomi bloom dikembangkan oleh Benjamin Bloom dan kawan-kawannya (1956). Taksonomi ini mengklasifikasikan sasaran pendidikan menjadi tiga domain: kognitif, afektif, dan psikomotor.

Domain kognitif. Taksonomi kognitif Bloom mengandung enam sasaran (Bloom dkk., 1956):

· Pengetahuan. Murid punya kemampuan untuk mengingat informasi.

· Pemahaman. Murid memahami informasi dan dapat menerangkannya dengan menggunakan kalimat mereka sendiri.

· Aplikasi. Murid menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah kehidupan nyata.

· Analisis. Murid memecah informasi yang kompleks menjadi bagian kecil-kecil dan mengaitkan informasi dengan informasi lain.

· Sintesis. Murid mengkombinasikan elemen-elemen dan menciptakan informasi baru.

· Evaluasi. Murid membuat penilaian dan keputusan yang baik.

Domain afektif. Taksonomi afektif terdiri dari lima sasaran yang berhubungan dengan respon emosional terhadap tugas (Kratheohl, Bloom, & Masia, 1964). Masing-masing dari lima sasaran itu mensyaratkan agar murid menunjukkan tingkat komitmen atau intensitas emosional tertentu:

· Penerimaan. Murid mengetahui atau memperhatikan sesuatu di lingkungan.

· Respon. Murid termotivasi untuk belajar dan menunjukkan perilaku baru sebagai hasil dari pengalamannya.

· Menghargai. Murid terlibat atau berkomitmen pada beberapa pengalaman.

· Pengorganisasian. Murid mengintegrasikan nilai baru ke perangkat nilai yang sudah ada dan memberi prioritas yang tepat.

· Menghargai karakterisasi. Murid bertindak sesuai dengan nilai tersebut dan berkomitmennya pada nilai tersebut.

Domain psikomotor. Kebanyakan dari kita menghubungkan aktivitas motor dengan pendidikan fisik dan atletik, tetapi banyak subjek lain, seperti menulis dengan tangan dan pengolahan kata, juga membutuhkan gerakan. Sasaran psikomotor menurut Bloom adalah:

  • Gerak refleks. Murid merespon suatu stimulus secara refleks tanpa perlu banyak berpikir.
  • Gerak fundamental dasar. Murid melakukan gerakan dasar untuk tujuan tertentu.
  • Kemampuan perseptual. Murid menggunakan indra, seperti penglihatan, pendengaran, atau sentuhan, untuk melakukan sesuatu.
  • Kemampuan fisik. Murid mengembangkan daya tahan, kekuatan, fleksibilitas, dan kegesitan.
  • Gerakan terlatih. Murid melakukan ketrampilan fisik yang kompleks dengan lancar.
  • Prilaku nondiskusif. Murid mengkomunikasikan perasaan dan emosinya melalui gerak tubuh.

Taksonomi Bloom untuk domain kognitif, afektif, dan psikomotor dapat digunakan oleh guru untuk merancang instruksi. Di masa lalu, perencanaan instruksional umumnya difokuskan pada sasaran kognitif atau behavioral. Taksonomi Bloom memberikan pertimbangan yang lebih luas dengan memasukkan domain afektif dan psikomotor.

Belakangan ini, sekelompok psikolog pendidikan memperbarui pengetahuan Bloom dan dimensi proses kognitifnya berdasarkan teori dan temuan terbaru (Anderson & Krathwohl, 2001). Dalam pembaharuan ini, dimensi pengetahuan mengandung 4 kategori:

· Faktual. Elemen dasar yang harus diketahui murid agar bisa menguasai suatu disiplin ilmu dan memecahkan problem didalamnya.

· Konseptual. Keterkaitan antar elemen dasar didalam struktur yang lebih besar yang membuatnya bisa berfungsi bersama.

· Prosedural. Bagaimana melakukan sesuatu, metode penelitian, dan kriteria untuk menggunakan suatu keahlian.

· Metakognitif. Pengetahuan kognisi dan kesadaran akan kognisi seseorang.

Dalam pembaharuan dimensi proses kognitif, 6 kategori berada didalam kontinum kurang kompleks sampai lebih kompleks:

· Mengingat. Mengambil pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang.

· Memahami. Mengkonstruksi makna dari instruksi yang mencakup mengintepretasi, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas, mengambil kesimpulan, membandingkan dan menjelaskan.

· Menganalisis. Memecah materi menjadi bagian-bagian komponen dan menentukan bagaimana bagian-bagian itu saling berhubungan satu sama lain dan bagaimana mereka berhubungan dengan keseluruhan atau dengan tujuan.

· Mengevaluasi. Membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu.

· Mencipta. Menyatukan elemen-elemen untuk membentuk satu kesatuan yang koheren atau fungsional; mereorganisasi elemen-elemen ke dalam pola atau struktur baru.

Strategi instruksional teacher-centered

Banyak strategi teacher-centered merefleksikan instruksi langsung. Di sini kita akan berbicara tentang mengorientasikan murid pada materi baru; mengajar, menjelaskan dan mendemonstrasikan; menanyakan dan diskusi; penguasaan pembelajaran; tugas di kelas; dan pekerjaan rumah.

Mengorientasikan. Sebelum menyajikan dan menjelaskan materi baru, susunlah kerangka pelajaran dan orientasikan murid ke materi baru tersebut (Joyce & Weil, 1996): (1) review aktivitas sehari sebelumnya; (2) diskusikan sasaran pelajaran; (3) beri instruksi yang jelas tentang tugas yang harus dilakukan; dan (4) beri ulasan atas pelajaran hari ini.

Pengajaran, penjelasan, dan demonstrasi. Pengajaran dengan paparan atau ceramah, penjelasan dan demonstrasi adalah aktivitas yang biasa dilakukan guru dalam pendekatan instruksi langsung. Penelitian telah menemukan bahwa guru yang efektif menghabiskan lebih banyak waktu untuk menerangkan dan mendemonstrasikan materi baru (Rosenshine, 1985).

Pertanyaan dan diskusi. Diskusi dan pertanyaan perlu diintegrasikan kedalam pendekatan instruksi teacher-centered (Weinstein, 1997). Dalam menggunakan strategi ini, adalah penting untuk merespon setiap kebutuhan pembelajaran murid sambil menjaga minat dan perhatian kelompok. Yang menjadi persoalan adalah murid laki-laki biasanya lebih mendominasi diskusi ketimbang murid perempuan.

Mastery learning. Mastery learning adalah pembelajaran satu konsep atau topik secara menyeluruh sebelum pindah ke topik yang lebih sulit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mastery learning efektif dalam meningkatkan waktu yang dihabiskan murid untuk mempelajari suatu tugas (Kulik, Kulik, & Bangert-Drowns, 1990), tetapi peneliti lain tidak banyak mendapat bukti untuk mendukung pendeketan mastery learning ini (Bangert, Kulik, & Kulik, 1983). Hasil dari mastery learning tergantung pada keahlian guru dalam merencanakan dan melaksanakan strateginya.

Seatwork. Seatwork adalah menyuruh semua murid atau sebagian besar murid untuk belajar sendiri-sendiri di bangku mereka. Guru berbeda-beda dalam menggunakan pendekatan ini. Beberapa guru menggunakannya setiap hari, tapi ada juga yang jarang.

Pekerjaan rumah. Keputusan instruksional penting lainnya adalah seberapa banyak dan apa jenis pekerjaan rumah yang harus diberikan kepada murid.

Perencanaan dan instruksi pelajaran learner-centered

Prinsip learner-centered

Instruksi dan perencanaan learner-centered adalah pada siswa, bukan guru. Dalam studi, persepsi murid terhadp lingkungan pembelajaran yang positif dan hubungan interpersonal dengan guru merupakan faktor terpenting yang memberikan motivasi dan prestasi murid (McCombs, 2001; McCombs & Quiat, 2001).

Faktor kognitif dan metakognitif

Ada 6 prinsip:

  1. sifat proses pembelajaran. Pembelajaran subjek materi yang kompleks akan sangat efektif jika dilakukan dengan melalui proses pengonstruksian makna dan dari informasi dan pengalaman.
  2. tujuan proses pembelajaran. Pelajar yang sukses, dengan bantuan dan pedoman instruksional, dapat menciptakan representasi pengetahuan yang bermakna dan koheren.
  3. konstruksi pengetahuan. Pelajar yang sukses bisa menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan cara yang mengandung makna tertentu.
  4. pemikiran strategis. Pelajar yang sukses dapat menciptakan dan menggunakan berbagai strategi pemikiran dan penalaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
  5. memikirkan tentang pemikiran (metakognisi). Pelajar yang sukses adalah pelajar yang metakognitif. Mereka merenungkan cara mereka belajar dan berpikir, menentukan tujuan pembelajaran yang terarah, memilih strategi yang tepat, dan memantau kemajuan mereka menuju tujuan pembelajaran.
  6. konteks pembelajaran. Pembelajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti kultur, teknologi, dan praktik instruksional. Guru memainkan peran penting dalam pembelajaran anak.

Faktor motivasi dan emosional

  1. pengaruh motivasi dan emosi terhadap pembelajaran. Apa dan seberapa banyak hal-hal yang dipelajari akan dipengaruhi oleh motivasi pelajar. Keyakinan dan ekspektasi pelajar akan memperkuat atau melemahkan kualitas pemikiran dan pemrosesan informasi.
  2. motivasi intrinsik untuk belajar. Motivas intrinsik adalah motivasi dari diri sendiri. Rasa ingin tahu, pemikiran mendalam, dan kreativitas adalah indikator yang baik dari motivasi intrinsik anak untuk belajar. Guru mendukung motivasi intrinsik anak dengan mendukung rasa ingin tahu mereka dan peka terhadap perbedaan individual dalam motivasi anak-anak.
  3. efek motivasi terhadap usaha. Usaha adalah aspek penting dari motivasi untuk belajar. Pembelajaran yang efektif membutuhkan banyak waktu, energi , dan ketekunan.

Faktor sosial dan developmental

  1. pengaruh perkembangan pada pembelajaran. Individu akan belajar dengan baik apabila pembelajarannya sesuai dengan tingkat perkembangan anak. kesadaran dan pemahaman akan variasi perkembangan dalam anak-anak dapat membantu penciptaan konteks pembelajaran yang optimal.
  2. pengaruh sosial terhadap pembelajaran. Pembelajaran dipengaruhi oleh interaksi sosial, hubungan interpersonal, dan komunikasi dengan orang lain. Dalam situasi ini, anak-anak punya kesempatan untuk menciptakan perspektif dan berpikir reflektif sehingga bisa memperkuat rasa percaya diri dan perkembangan mereka.

Faktor perbedaan individual

  1. perbedaan individual dalam pembelajaran. Anak punya strategi yang berbeda, pendekatan berbeda, dan kemampuan berbeda untuk belajar. Perbedaan ini akibat dari pengalaman dan hereditas.
  2. pembelajaran dan diversitas. Pembelajaran akan lebih efektif jika perbedaan bahasa, kultural, dan latar belakang sosia murid ikut dipertimbangkan. Prinsip dasar yang sama dari pembelajaran, motivasi, dan instruksi berlaku untuk semua anak.
  3. standar dan penilaian. Menentukan standar yang tinggi dan menantang, dan menilai kemajuan pembelajaran dari siswa adalah bagian integral dari proses pembelajaran. pembelajaran yang efektif terjadi ketika murid ditantang untuk bekerja meraih tujuan yang tinggi dan tepat. Penilaian diri atas kemajuan pembelajaran dapat membantu meningkatkan keahlian murid dalam menilai diri sendiri.

Beberapa strategi instruksional learner-centered

Pembelajaran berbasis problem. Menekankan pada pemecahan problem kehidupan nyata. Kurikulum berbasis problem akan memberi problem nyata pada murid, yakni problem yang muncul dalam kehidupan sehari-hari (Jones, Rasmussen, & Moffitt, 1997). Murid mengidentifikasi problem atau issue yang ingin mereka bahas, kemudian mencari materi dan sumber bahan lain yang mereka butuhkan untuk menangani problem tersebut. Guru bertindak sebagai pembimbing, membantu murid memonitor upaya pemecahan mereka.

Pertanyaan esensial. Adalah pertanyaan yang merefleksikan inti dari kurikulum, hal paling penting yang harus dieksplorasi dan dipelajari oleh murid (Jacobs, 1997).

Pembelajaran penemuan. Adalah pembelajaran dimana murid menyusun pemahaman sendiri. Pembelajaran penemuan berbeda dengan pendekatan instruksi langsung, dimana guru menjelaskan secara langsung informasi kepada murid. Dalam pembelajaran penemuan, murid harus mencari tahu sendiri. Pembelajan penemuan ini berhubungan dengan ide Piaget, yang pernah mengatakan bahwa setiap kali Anda memberi tahu murid, maka murid tidak belajar

Dewey (1933) dan Bruner (1966) mempromosikan konsep pembelajaran penemuan dengan mendorong guru untuk memberi murid kesempatan belajar sendiri. Menurut mereka, pembelajaran penemuan mendorong murid untuk berpikir sendiri dan menemukan cara menyusun dan mendapatkan pengetahuan. Metode ini juga memupuk rasa ingin tahu mereka.

SMA - Testimonial



Pada tahun 2003 – 2006 adalah saat dimana saya sedang mengenyam pendidikian dibangku SMA. Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Kota Bogor, pada tiap tingkatan kelas terdapat masing-masing 4 kelas, dan penjurusan dimulai saat kami naik ke kelas 2 SMA. Pada awal kelas 2 SMA, saya tidak terlalu sulit untuk mengikuti pelajaran karena metode yang digunakan tidak jauh berbeda dari tingkat SMP, yaitu teacher centered, hal ini berlangsung selama kurang lebih 1 tahun, sedangkan pada saat saya naik kelas 2 SMA, saya agak terkejut dengan perubahan sistem belajar yang lebih menekankan pada Si Murid, yang sekarang saya kenal dengan istilah student centered dan hal ini terus berlangsung hingga saya lulus SMA di sekolah tersebut.

Perbedaan sistem pengajaran yang diberlakukan saat itu mungkin untuk kemajuan pendidikan anak-anak yang sudah pemerintah pertimbangkan, tapi alangkah baiknya bila anak-anak yang akan menerima sistem baru tersebut dipersiapkan terlebih dahulu untuk menghadapi perubahan itu, karena perubahan tetaplah suatu perubahan dan belum tentu semua anak dapat beradaptasi dengan cepat, mungkin yang terjadi adalah karena si anak membutuhkan proses yang cukup lama untuk beradaptasi dengan sistem yang baru dan guru yang “kejar target” malah membuat si anak menurun dalam prestasi sekolah.

Puji Tuhan-nya adalah walaupun saya termasuk murid yang cukup sulit beradaptasi dengan lingkungan maupun kurikulum yang baru, tapi saya masih dapat mengatasi itu dengan sangat baik, tentunya dengan bantuan guru-guru dan teman-teman. Dan pada saat saya mulai mengenyam pendidikan di bangku kuliah, kurikulum yang saya hadapi tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang saya hadapi saat saya masih SMA, hanya saja di universitas saya memiliki kebebasan penuh memilih untuk ikut bekerjasama dengan dosen atau mengikuti ego saya yang sangat moody.

Keuntungan yang saya sangat rasakan adalah walaupun saat SMA (saat perpindahan dari kurikulum lama ke kurikulum baru) saya merasa sedikit terbengkalai, tapi sekarang saya rasakan itu adalah suatu pembelajaran yang dapati untuk menempuh perkuliahan yang ternyata walaupun dengan kurikulum yang sama tapi sangat dibutuhkan tanggungjawab yang luar biasa. Selain itu dengan sistem student centered, saya diajar untuk lebih mandiri dalam belajar dan secara tidak langsung wawasan saya jauh lebih luas karena saya mau tidak mau harus berkutik dengan buku-buku di perpustakaan, jurnal-jurnal, maupun dengan internet demi untuk mencari bahan-bahan dari materi perkuliahan yang akan dibahas ataupun mendalami materi perkuliahan lebih dalam lagi.

Tidak hanya itu, dengan student centered, saya juga diajarkan untuk lebih percaya diri, karena dalam masa perkuliahan ini, hampir setiap mata kuliah, dosennya tidak pernah absen untuk mengadakan presentasi kelompok, dan hal tersebutlah yang memacu saya untuk percaya dengan kemampuan diri sendiri, dan mulai mengubah pola berpikir saya untuk terus menambah ilmu, tidak apa-apa kalau salah, namanya juga belajar “tidak ada noda, ya tak belajar”.

Sampai saat ini saya masih merasa beruntung dengan student centered yang saya dapat dari semenjak SMA hingga saat ini, menurut saya dengan pola pengajaran seperti itu akan membantu saya nanti pada saat saya “terjun” ke dalam dunia kerja unutk terus mau berusaha dan tidak cepat puas dengan hasil yang kita dapatkan, karena semakin majunya zaman, semakin maju pula teknologi, dan begitu pula dengan ilmu pengetahuan.

SMA - Kelebihan Student Centered Learning

Ada beberapa kelebihan student centered leaning bila dibandingkan dengan metode konvensional (teacher centered learning) kelebihan itu adalah sebagai berikut:

1. Mengefektifkan proses pembelajaran

Dengan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik, mereka akan bertanggungjawab pada dirinya sendiri dalam mencapai tujuan pembelajarannya. Sehingga mereka akan lebih cepat dalam menerima dan memahami sesuatu dengan proaktif dalam belajar.

2. Memperkuat daya ingatan siswa

Ketika siswa dituntut untuk aktif dalam proses belajarnya, dalam artian tidak lagi hanya terpusat pada guru, mereka akan lebih kuat daya ingatannya. Karena mereka mendapatkan ilmu secara langsung untuk dipraktekkan, dalam arti tidak hanya sekedar mendengarkan dari satu sumber.

3. Mengikis rasa bosan siswa

Rasa bosan akan timbul ketika mahasiswa tidak dianggap ada di dalam kelas. Mereka hanya dijadikan objek pendengar yang setia dari ceramah guru. Akibatnya siswa akan merasa bosan dan akan juga mempengaruhi keinginannya untuk terus giat dalam menggali ilmu.

4. Memberikan rasa percaya diri bagi mereka yang mempunyai kekurangan dalam akademis

SCL memberikan kesempatan pada siapapun untuk proaktif dalam proses belajar mengajar. Tidak ada tekanan yang dapat memutuskan bahwa pendapat ini benar dan pendapat itu salah. Karena yang terlibat dalam diskusi tersebut mereka sendiri yaitu semua siswa. Jadi bagi mereka yang selama ini jarang berpartisipasi dalam kegiatan KBM akan merasa lebih percaya diri dalam mengikutinya.

SMA - Student Centered Instructional Strategies

· Problem-based Learning

Problem-based Learning mengutamakan pemecahan masalah sehari-hari. Murid mengidentifikasi isu yang akan mereka eksplorasi, dan yang perlu mereka selesaikan. Guru hanya bertindak sebagai pembimbing, membantu murid dengan memantau usaha mereka untuk menyelesaikan masalah.

· Essential Questions

Essential Questions adalah pertanyaan yang merefleksikan hal yang penting dari kurikulum, hal yang penting yang dipercaya murid akan dapat dieksplorasi dan dipelajari (Santrock, 2001).

· Discovery Learning

Discovery Learning adalah pembelajaran dimana murid membuat pemahaman mereka sendiri. Dalam Discovery Learning, murid harus bereksplorasi sendiri. Menurut Dewey dan Bruner (Santrock, 2001), Discovery Learning menyemangati murid untulk berpikir sendiri dan menemukan bagaimana pengetahuan dibangun. Sebagai guru yang mulai menggunakan Discovery Learning, mereka akan menemukan bahwa hal tersebut efektif dalam pendekatan instruksi sistematis yang perlu dimodifikasi, yang akan mengembangkan guided discovery learning. Guided discovery learning adalah ketika murid masih mendapat dukungan akan pembangungan pengertian, tetapi masih dengan pengarahan pertanyaan dan arahan dari guru.

Berikut ini adalah perbedaan antara teacher centered learning dan student centered learning:

Teacher Centered Learning

Student Centered Learning

Transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa.

Mahasiswa aktif mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari.

Mahasiwa menerima pengetahuan secara pasif.

Mahasiswa aktif terlibat dalam mengelola pengetahuan.

Lebih menekankan pada penguasaan materi.

Tidak terfokus hanya pada pengetahuan tetapi juga mengembangkan sikap belajar (life long learning).

Single media.

Multimedia.

Fungsi dosen pemberi informasi utama dan evaluator.

Fungsi dosen sebagai motivator, fasilitator, dan evaluator.

Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan terpisah.

Proses pembelajaran dan penilaian berkesinambungan dan terorganisasi.

Menekankan pada jawaban yang benar saja.

Penekanan pada proses pengembangan pengetahuan. Kesalahan dapat digunakan sebagai sumber belajar.

Sesuai dengan pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja.

Sesuai dengan pengembangan ilmu dengan pendekatan interdisipliner

Iklim belajar individual dan kompetitif.

Iklim yang dikembangkan bersifat kolaboratif, supportif, dan kooperatif.

Perkuliahan merupakan bagian terbesar dalam proses pembelajaran.

Mahasiswa melakukan pembelajaran dengan berbagai model dengan SCL

Penekanan pada tuntasnya materi pembelajaran.

Penekanan pada pencapaian kompetensi mahasiswa.

Penekana pada bagaimana cara dosen melakukan pengajaran.

Penekanan pada cara mahasiswa melakukan pembelajaran.

Penekanan pada penguasaan hard skill mahasiswa.

Penekanan pada penguasaan hard skill dann soft skill mahasiswa.

SMA - Student Centered Learning

Pada student centered learning, siswa mencari dan mengkonstruksi pengetahuan lewat berbagai strategi, dimana siswa bersifat aktif spesifik. Student centered learning sering dinamakan pembelajaran. Aktivitas belajar berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal.
Student centered lerning memusatkan perencanaan, pengajaran dan penilaian semuanya berdasarkan pada kemampuan dan kebutuhan siswa. Intinya bahwa proses belajar akan sangat berarti apabila siswa merasa tertarik dan senang dengan materi yang sedang ia pelajari. Siswa akan merasa termotivasi apabila mereka dilibatkan dalam setiap proses pembelajaran dan pengajaran, pemilihan topik sampai pada penilaian.

SMA - Teacher Centered Instructional Strategies

1.1.1 Orienting

Bangun dasar dari pelajaran materi baru sebelum menjelaskan materi baru tersebut (Santrock, 2001).

1.1.2 Lecturing, Explaining dan Demonstrating

Lecturing, explaining dan demonstrating adalah aktivitas guru yang digunakan dalam pendekatan instruksional langsung. Penelitian telah menemukan bahwa guru yang efektif membuang banyak waktu untuk menjelaskan dan mendemonstrasikan materi baru daripada guru yang tidak efektif.

1.1.3 Questioning dan Discussing

Penggunaan strategi ini sangat penting dalam mencari tahu respon kebutuhan belajar setiap murid ketika berada pada perhatian dan ketertarikan kelompok. Pola pengajaran dari guru meliputi initiation (guru menanyakan pertanyaan), response (murid menjawab), dan reaction (pujian, pembetulan dan perluasan). Pola pengajaran tersebut akan efektif jika dilakukan berulang-ulang (Woolfolk, 2004).

Dalam diskusi, murid dapat secara langsung terlibat dan mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Diskusi membantu murid belajar mengekspresikan diri lebih jelas, menimbang saran, dan mentoleransi pandangan yang berbeda. Diskusi juga memberi murid kesempatan untuk menanyakan klarifikasi, menguji pemikiran, mengikuti ketetarikan personal, dan mendapat tanggung jawab dengan menjadi pemimpin dalam kelompok.

1.1.4 Mastery Learning

Mastery Learning meliputi pembelajaran satu konsep atau topik melalui pembelajaran sebelumnya yang lebih sulit. Beberapa peneliti mengindikasi mastery learning efektif ketika murid menghabiskan waktu untuk membuat tugas.

1.1.5 Seatwork

Seatwork mengarah pada latihan atau keutamaan murid belajar independent di bangku mereka masing-masing. Pusat pembelajaran merupakan alternatif yang baik dalam penggunaaan paper and pencil seatwork.

1.1.6 Homework

Instruksi penting lain meliputi seberapa sering dan tipe dari homework yang diberikan kepada murid. Murid Asia lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan homework daripada murid Amerika.

SMA - Teacher Centered Planning

Teacher-centered planning meliputi menciptakan behavioral objectives, analyzing tasks, dan pengembangan taksonomi instruksional.

1.1.1 Behavioral objectives adalah pernyataan bahwa komunikasi bertujuan untuk mengubah perilaku siswa untuk mencapai tingkat yang diinginkan. Menurut Robert Mager (Santrock, 2001), behavioral objectives harus sangat spesifik dn komunikasinya jelas. Mager percaya bahwa behavioral objectives mempunyai tiga bagian, yaitu:

· Perilaku siswa, berfokus pada siswa akan belajar atau berperilaku, mendeskripsikan aktivitas dalam perilaku yang diobservasi.

· Kondisi dimana perilaku akan terjadi, mengungkapkan bagaimana perilaku dapat dievaluasi atau diujikan.

· Kriteria penampilan, mengukur apakah tingkat penampilan diterima.

1.1.2 Task analysis yang berfokus pada memecahkan masalah yang kompleks agar murid belajar dalam bagian-bagian kecil.

1.1.3 Taksonomi instruksional. Taksonomi adalah klasifikasi sistem. Taksonomi Bloom dikembangkan oleh Benjamin Bloom dan koleganya, berfokus pada objek pendidikan dalam tiga bagian utama, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (Santrock, 2001).

Bagian kognitif mempunyai enam objek yaitu:

· Knowledge. Siswa mampu mengingat suatu informasi

· Comprehension. Siswa mengerti informasi dan dapat menjelaskan dalam kata-kata mereka sendiri.

· Application. Siswa menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah hidup sehari-hari.

· Analysis. Siswa memecahkan masalah kompleks menjadi mudah dan menghubungkan informasi yang satu dengan yang lain.

· Synthesis. Siswa mengkombinasi elemen dan menciptakan informasi baru.

· Evaluation. Siswa mampu membuat evaluasi dan keputusan yang baik.

Dalam Bloom 2001 (Woolfolk, 2004),ditambahkan lagi proses pencapaian empat jenis pengetahuan,yaitu factual, conceptual, procedural, dan metacognitive.

Pada level afektif yang rendah, murid akan menyimpan ide-idenya, sedangkan pada level yang lebih tinggi, murid akan mengadaptasi ide atau nilai dan berperilaku dengan nilai tersebut. Bagian afektif mempunyai lima objek yang berhubungan dengan tugas respon emosi, yaitu:

· Receiving. Murid mampu berhati-hati atau memberi perhatian lebih pada lingkungan.

· Responding. Murid menjadi termotivasi untuk belajar dan menunjukkan perilaku baru sebagai hasil dari pengalaman.

· Valuing. Murid terlibat dalam beberapa pengalaman.

· Organizing. Murid mengorganisir nilai tertentu dan menginternalisasikan nilai menjadi bagian dalam dirinya.

· Value characterizing. Murid menjadikan nilai tersebut sebagai nilai dalam dirinya sendiri.

Bagian psikomotor berhubungan dengan aktivitas motorik dengan pendidikan fisik dan atletik, tetapi subyek lain seperti menulis termasuk dalam gerakan. Objek psikomotor Bloom meliputi:

· Reflex movements. Murid merespon gerakan tidak disadari dari stimulus.

· Basic fundamentals. Murid membuat dasar gerakan yang disadari yang bertujuan.

· Perceptual abilities. Murid menggunakan alat yang melibatkan persepsi.

· Physical abilities. Murid mengembangkan kemampuan umum.

· Skilled movements. Murid menunjukkan kemampuan fisik yang kompleks.

· Nondiscussive. Murid bisa mengkomunikasikan sesuatu melalui gerakan tubuh.